Peran Wasi Dalam Pembinaan Umat
Abstract
Wasi merupakan Rokhaniawan Hindu. Rokhaniawan artinya seseorang jiwanya telah disucikan. Karena itu sebagai rokhaniawan, seorang Wasi seyogyanya mendalami pengertian rokhaniawan, sehingga yang bersangkutan bisa menempatkan diri dan melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan tingkat kesuciannya. Puja pengastuti kita panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kita berbagai kebahagiaan tiada hentinya. Sehingga kita dapat melaksanakan swadharma. Rokhaniawan artinya orang yang mempunyai kerokhaniawan, seorang wasi seyogianya mendalami dan meningkatkan kerokhaniawannya, sehingga yang bersangkutan bisa menenpatkan diri dan melaksanakan tugas pekerjaannya sesuai dengan tingkat kesuciannya. Wasi berdasarkan tingkatnya tergolong Ekajati. Supaya dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka wasi perlu belajar kepada yang lebih tahu. Kitab suci Weda yang perlu dipelajari, hanya sebatas pengastawaan saja. Sedangkan upacara penyuciannya menjadi Wasi cukup hanya dengan upacara pewintenan. Upacara Pewintenan dapat dilakukan berulangkali. Jadi berbeda dengan upacara pediksaan yang hanya boleh dilakukan sekali dalam kehidupan. Dengan mengikuti upacara pewintenan seorang Wasi masih boleh bercukur, boleh bepergian sebagaimana layaknya anggota masyarakat biasa masih menpunyai tugas dan tanggung jawab dalam hubungan kemasyarakatan. Wasi tidak dibenarkan memakai alat pemujaan Sulinggih, juga tidak dibenarkan mempergunakan mudra dalam mepuja. Wasi memiliki sasana khusus yang tertuang dalam Lontar Kusuma Dewa, Sangkul Putih, Gegelaran Pinandita.
References
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Kadjeng, I Njoman,dkk.2003. Sarasamuccaya. Surabaya: Paramita.
Kamajaya, Gede, 2000.Yoga Kundalini (Cara untuk mencapai Siddhi dan Moksa). Paramita Surabaya.
Sadia,I Wayan, 2010. Melaksanakan Gita Sehari-hari, Jalan Menuju Tuhan. Paramita Surabaya
Sukardana,K.M. 2016. Pedoman Pinandita. Paramita Surabaya.
Titib, Made, 2009.Teologi& Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu.Paramita Surabaya.
………….., Kitab Suci Niti Sataka. Paramita Surabaya.
Mantra, IdaBagus.1981. Bhagawadgita. Denpasar : Parisada Hindu Dharma Pusat.
Pandit, Nyoman S. 1986. Bhagawadgita. Jakarta : BP Dharma Nusantara.
PGHN 6 Tahun. Singaraja, Nitisastra Kekawin. Pemda Tingkat I Bali.
Pudja.G.Rai Sudharta, Cokorda.2003. Menawa Dharmacastra (Manu Dharmasastra.) Mitra Kencana Buana Jakarta.
Pudja, Gde.2004. Bhagawad Gita. Paramita Surabaya.
Penulis yang mengirimkan naskah melakukannya dengan pengertian bahwa jika diterima untuk publikasi, hak cipta dari artikel tersebut akan diserahkan ke Widya Aksara sebagai penerbit jurnal.
Hak cipta mencakup hak eksklusif untuk mereproduksi dan mengirimkan artikel dalam semua bentuk dan media, termasuk cetak ulang, foto, mikrofilm, dan reproduksi serupa lainnya, serta terjemahannya. Reproduksi bagian manapun dari jurnal ini, penyimpanannya dalam database dan pengirimannya oleh segala bentuk atau media, seperti salinan elektronik, elektrostatik dan mekanis, fotokopi, rekaman, media magnetik, dll., Hanya akan diizinkan dengan izin tertulis dari Widya Aksara. Namun, Penulis memiliki hak untuk yang berikut:
1. Duplikat semua atau sebagian dari materi yang diterbitkan untuk digunakan oleh penulis sendiri sebagai instruksi kelas atau materi presentasi verbal di berbagai forum;
2. Menggunakan kembali sebagian atau seluruh bahan sebagai kompilasi bahan untuk pekerjaan penulis;
3. Membuat salinan dari materi yang diterbitkan untuk didistribusikan di dalam institut tempat penulis bekerja.
STHD Klaten dan Widya Aksara melakukan segala upaya untuk memastikan bahwa tidak ada data, pendapat, atau pernyataan yang salah atau menyesatkan diterbitkan dalam jurnal. Dengan cara apa pun, isi artikel dan iklan yang diterbitkan dalam Widya Aksara adalah tanggung jawab tunggal dan eksklusif masing-masing penulis dan pengiklan.